Jokowi dan Sri Mulyani, Visioner featuring Realistis. Beberapa
minggu yang lalu, srikandi bumi pertiwi yang sangat popular di dunia
ekonomi dan keuangan kembali disambut dengan hangat oleh jutaan
masyarakat Indonesia. Beliau adalah Bu Sri Mulyani, seorang tokoh besar
yang pernah menjabat Managing Director of World Bank. Ya, bukan posisi
yang sembarangan apalagi dengan kaliber internasional. Sambutan itu
muncul ketika seiring dengan datangnya informasi yang bisa dibilang
sangat mengejutkan karena beliau diangkat kembali dan bersedia menjadi
Menteri Keuangan Republik Indonesia. Tidak perlu lama isu tersebut
beredar dan resmi setelah benar-benar diumumkan, pasar keuangan kita
khususnya pasar saham mencuat berada pada posisi terbaiknya, sangking
optimisnya para investor di pasar saham. Tidak dapat dipungkiri bahwa
kehadiran Bu Sri Mulyani pada jajaran menteri Reshuflle jilid II ini
mampu menjadi cover indah dari beberapa nama menteri lainnya yang
mungkin sebagian besar masyarakat masih ragu dengan kredibelnya.
Sebelum cerita panjang lebar tentang Bu Sri Mulyani, mari coba kita flashback bersama menuju momen di tahun 2014 yaitu pemilu presiden. Presiden terpilih Bapak Joko Widodo yang saat itu masih menjadi capres bersaing dengan Bapak Prabowo Subianto memberikan kampanye-kampanye untuk menjual dirinya ke publik supaya terpilih menduduki kursi nomor 1 di republik ini. Tidak banyak berbeda dengan kampanye-kampanye pada umumnya, beliau juga menonjolkan banyak program dan produk unggulan khasnya yang selalu beliau klaim berhasil di daerah Solo dan Jakarta *tempat dimana sebelumnya beliau pernah menjabat sebagai walikota dan gubernur.
Di dalam kampanye Pak Jokowi saat itu, harus saya akui pasangan Jokowi-JK terlihat memiliki program-program yang luar biasa secara konsep dan tampak mengesankan. Banyak yang kemudian menjadi popular saat itu, antara lain adalah paket kartu sakti (KIP, KIS, dan KKS). Belum lagi tagline “Revolusi Mental” yang menjadi begitu dewa seolah-olah mental rakyat Indonesia ini butuh reformasi besar-besaran ke arah yang lebih baik. Konsep tersebut juga dilengkapi dengan program-program prioritas yang akan dikerjakan apabila beliau terpilih menjadi Presiden RI, yang kemudian program tersebut dilempar ke publik dengan brand yang manis, yaitu Nawa Cita.
Kembali ke bahasan sesuai judul, saya sengaja menggunakan istilah featuring walaupun secara kasat mata dan nalar dua kata yang saya sambungkan itu cukup kontradiksi. Namun, sebenarnya kalau kita mencoba untuk memahami lebih detail dua kata tersebut, saya memberi makna yang terkandung di dalamnya dengan istilah TARGET. Seorang pemimpin yang visioner dan punya ambisi terhadap sesuatu diharapkan menancapkan suatu target yang dapat dicapai dan bukan sekedar angan-angan belaka yang seolah-olah nyaris tak mungkin dicapai. Sama halnya dengan realistis, suatu sikap yang bermuara pada pemikiran “nyata dan wajar” ini juga berbicara tentang target yang jelas-jelas mampu dapat diraih dengan upaya yang keras. Itulah kenapa kemudian kita harus dewasa untuk mampu membedakan target dan angan-angan. Bukan berarti angan-angan menjadi suatu hal yang tidak mungkin, tetapi karena berbicara pada ranah eksekutif untuk pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, suatu batasan tertentu yang mampu diraih menjadi suatu hal yang sangat penting.
Saya selalu kagum dengan sikap Pak Jokowi yang visioner dan punya ambisi untuk menjadikan Indonesia negara yang lebih baik, terlebih pada persoalan infrastruktur. Tidak jarang kita semua sering mendapati Pak Jokowi selalu berusaha keras berbicara kepada publik bahwa pembangunan infrastruktur harus menjadi hal penting yang harus segera dibenahi oleh negeri ini. Beliau memiliki cita-cita untuk membangun jalur trans, tol laut, kereta cepat, pembangkit listrik 35.000 megawatt, pelabuhan, bandara, dll. Belum lagi dengan dilanjutkannya beberapa proyek yang belum selesai dari era pemimpin sebelumnya. Banyak orang-orang yang penasaran dan saya sendiri cukup tercengang bagaimana mungkin Pak Jokowi bisa berangan-angan demikian hebat dengan sangat terbatasnya sumber penerimaan negara. Saya masih ingat betul salah satu kalimat yang beliau lontarkan pada saat debat capres-cawapres, beliau mencoba menjawab keraguan-keraguan tentang ketersediaan uang negara dengan nada yakin dan bahasa tubuh khasnya, “Uangnya ada, yang penting kerja, kerja, kerja. Uangnya itu sudah tersedia, yang penting bagaimana kita itu mau kerja, kerja, dan kerja…”
Oke, sekarang saatnya mari kita bahas kondisi bumi pertiwi pada saat ini, saat sekarang ini, saat dimana saya menulis artikel ini. Pemerintahan Jokowi-JK hampir tepat 2 tahun memimpin negeri ini. Banyak rakyat Indonesia yang menyatakan puas terhadap kepemimpinan beliau, tapi tidak sedikit pula yang kecewa. Banyak sekali kebijakan-kebijakan yang sudah diterbitkan dan kemudian menjadi pro-kontra hingga sampai detik ini seolah-olah masyarakat sudah terbiasa. Kebijakan-kebijakan yang beliau lakukan itu salah satunya tidak lain dan tidak bukan jelas untuk mengelola kondisi fiskal yang terlontarkan di dalam APBN RI. Mulai dari R-APBN (Rancangan), APBN yang ditetapkan, R-APBNP (Rancangan untuk akan dilakukannya perubahan), APBNP yang ditetapkan (perubahan yang disepakati), hingga hasil akhir tahun kondisi APBN yang ada, dapat kita lihat bahwa posisinya defisit, artinya pengeluaran selalu lebih besar dibandingkan dengan penerimaan. Kondisi ini selalu terjadi pada pemerintahan sebelum-sebelumnya juga. Lantas apa yang bisa dilakukan oleh negeri ini ketika terjadi hal demikian? Salah satu jawabannya adalah dengan UTANG.
Selain utang, sebenarnya masih banyak kebijakan lain yang dapat dilakukan untuk mengelola APBN agar cita-cita Pak Jokowi dapat dicapai. Seperti yang telah kita ketahui bersama, tidak akan pernah lupa dalam benak kita dimana harga bensin pertama kali dalam sejarah bumi pertiwi dilepaskan ke mekanisme pasar. Kebijakan ini untuk mencabut subsidi BBM yang dianggap sangat membebani APBN, sehingga kemudian harga bensin diotak-atik untuk klaim mempersehat APBN. Pasang surut harga bensin menjadi sorotan penting saat itu, sehingga membuat harga bahan pokok ikut labil hingga bosan dan saat ini sudah nyangkut pada harga yang stabil dan enggan untuk balik lagi, stabil yang saya maksud adalah stabil pada posisi harga yang tinggi alias mahal. Parameter saya tidak perlu jauh-jauh ke angka statistika yang menunjukkan inflasi seolah-olah pada posisi fundamental. Simpel saja, harga nasi goreng yang dulu Rp 7.000-an sekarang sudah nyaman di posisi Rp 8.000 – Rp 9.000, dan masih banyak lagi. Harga premium yang dulu ada pada kisaran Rp 4.500 menjadi sekitar Rp 6.500-an. Harga tersebut adalah hasil kebijakan mekanisme pasar tersebut, dan perlu kita ingat bahwa harga minyak dunia per barel saat ini berada pada titik-titik terendah sekitar USD 40-an per barel. Padahal pada beberapa tahun lalu saat era presiden sebelumnya harga minyak dunia pernah menduduki posisi hingga USD 140 per barel. Kita semua tentu tidak ingin posisi tertinggi harga minyak dunia kembali terjadi saat ini, karena kebijakan harga BBM kita sudah terlanjur mengikuti mekanisme pasar, sehingga apabila harga minyak dunia kembali menjadi ekstrim, maka bukan tidak mungkin harga premium bisa saja mencapai Rp 20.000-an per liter.
Kebijakan-kebijakan lain yang terdampak dari cita-cita Pak Jokowi adalah pengurangan subsidi listrik, kemudian juga ada pengurangan anggaran pendidikan, seperti beasiswa bidik misi. Belum lagi pencabutan sertifikasi guru juga menjadi bukti bahwa negeri ini butuh sekali penerimaan ekstra untuk infrastruktur. Kebijakan terakhir yang coba diupayakan untuk mendapat tambahan penerimaan tersebut adalah tax amnesty yang santer sedang diperbincangkan hingga detik ini. Semua upaya-upaya ini dilakukan untuk alokasi yang dapat dibilang sebenarnya baik, yaitu peningkatan infrastruktur. Namun, saya teringat dengan apa yang kemudian menjadi salah satu kritik dan saran dari presiden sebelumnya Bapak Susilo Bambang Yudhoyono tentang hal ini. Masih ingat betul dalam benak saya bahwa beliau menyatakan tentang perbaikan infrastruktur adalah suatu hal yang sangat positif, namun bukan berarti rakyat menjadi korbannya. Hal ini saya maknai dengan jangka panjang yang positif sebaiknya diikuti dengan pertimbangan dan capaian jangka pendek yang positif pula. Bukan berarti kemudian cita-cita yang mulia ini kemudian menyengsarakan rakyat. Pernyataan beliau ini memang terkesan konservatif dan selalu berhati-hati dengan pertimbangan beliau yang mungkin sudah masak dibalik pengalamannya 10 tahun memimpin negeri ini. Jauh berbeda dengan Pak Jokowi yang terkesan pemberani dan cenderung nekat berjiwa risk taker. Mungkin sikap mental berani Pak Jokowi ini muncul karena background beliau yang dulunya adalah entrepreneur mebel.
Beberapa minggu lalu Bu Sri Mulyani hadir dan mengubah segalanya. Banyak sekali kebijakan beliau yang seakan mengacak-acak apa yang sudah direncanakan sebelumnya, khususnya pada tahun 2016. Di hari pertama beliau menjabat sebagai Menteri Keuangan RI, kalimat yang muncul ketika ditanyai oleh banyak wartawan terkait langkah awal apa yang akan diambil ketika memulai jabatan menteri ini. Beliau menjawab bahwa akan mempelajari struktur APBN karena sudah lama tinggal di Amerika. Hasil analisa Bu Sri Mulyani hingga beberapa hari terakhir ini menunjukkan bahwa seolah-olah ada yang salah dalam struktur APBN negeri ini. Bahkan, beberapa saat yang lalu beliau mengatakan bahwa target penerimaan APBN tahun 2016 kita cukup ambisius, belum lagi ditambah target dari kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Bu Sri Mulyani mengatakan bahwa target pajak yang Rp 1.546 Triliun pada 2016 ini bakal tertekan dan tidak tercapai sehingga ada revisi pengurangan penerimaan pajak sekitar 219 Triliun. Akibatnya, terjadi pemangkasan anggaran sebesar Rp 133,8 Triliun pada anggaran Kementerian/Lembaga dan transfer ke daerah. Namun, pemangkasan tersebut tidak sedikitpun menyentuh anggaran yang sudah digadang-gadang oleh pak Jokowi dalam memenuhi angan-angannya tadi terkait dengan peningkatan infrastruktur. Bu Sri Mulyani bahkan menyampaikan bahwa tidak akan ada pemangkasan anggaran untuk infrastruktur.
Momen Hari Kemerdekaan RI baru saja lewat, pada saat itu pula RAPBN 2017 diluncurkan ke publik. Banyak pihak yang menilai bahwa RAPBN 2017 jauh lebih realistis dibandingkan APBN dua tahun sebelumnya yang dinilai terlalu ambisius, khususnya terhadap penerimaan pajak sehingga sering muncul revisi-revisi bahkan sempat terjadi momentum dimana dirjen pajak mengundurkan diri dari posisinya karena target yang tidak terpenuhi. Saya mencoba mengutip perkataan dari Ekonom INDEF, Dzulfian Syafrian, “Jelas, RAPBN 2017 menunjukkan bahwa pemerintah mulai realistis dengan perekonomian tahun ini yang masih lemah. Pesimisme ini terlihat baik dari revisi sisi penerimaan maupun pengeluaran. Kita tahu sendiri bahwa 2 tahun belakangan, pemerintah tampak ngoyo dengan penerimaan pajak yang mana sudah jelas hal itu tidak masuk akal di kala perekonomian sedang melambat. Jadi, jangan heran kalau 2 tahun belakangan kita mengalami drama ancaman target penerimaan yang jauh karena setting target yang terlalu tinggi”.
Menutup artikel ini, saya jadi teringat beberapa saat yang lalu pernah membaca sebuah artikel yang menarik dengan headline “Jokowi: Duitnya ada, duitnya ada, tinggal kerja, kerja, kerja. || Sri Mulyani: Duitnya gak ada, belanja negara Rp 133 T perlu dipangkas”. Kalimat ini terkesan kritis namun realistis. Yang terpenting adalah bagaimana kemudian APBN ke depan dapat dikelola dengan baik dan kredibel. Se-realistis apapun APBN apabila tidak dikelola dengan baik, maka angan-angan semata dan tidak tercapainya targetlah yang akan terjadi. Kembali pada kalimat di judul artikel saya ini, saya memang sengaja lebih memilih kata featuring dibandingkan kata vesus di antara kata visioner dan realistis. Hal ini untuk saling melengkapi, pemimpin yang memiliki visi dan cita-cita mulia, tentu harus didampingi oleh orang yang punya kredibilitas dan selalu mengarahkan ke arah target realistis yang mampu dicapai. Sudah barang tentu, bahwa seorang menteri yang menjadi anak buah presiden harus loyal untuk menuruti apa-apa yang diinginkan presiden. Namun loyal saja tidak cukup, seorang menteri juga harus kredibel. Seorang menteri yang kredibel akan mampu membantu dan memperbaiki kinerja pemimpinnya. Bukannya apa-apa, hal ini jelas dapat mempengaruhi kepercayaan publik apabila kinerja pemerintah yang tampak pada RAPBN dan APBNP jauh berbeda. Jangan sampai kemudian masyarakat menilai bahwa pemerintahan sangat tidak kredibel dan terkesan selalu meleset dari target hanya karena apa yang ditargetkan melampaui batas kewajaran yang pada akhirnya justru hanya terperosok pada angan-angan belaka. Semangat terus Pak Jokowi, semoga selalu diberi kesehatan untuk terus membangun negeri ini menjadi lebih baik. Begitu pula dengan Bu Sri Mulyani, sehat terus Ibu untuk bersedia membimbing dan membantu terus Pak Jokowi dalam menggapai cita-citanya demi kebaikan negeri ini.
Salam cinta dari saya, rakyatmu yang selalu cinta tanah air dan peduli dengan kebaikan negeri ini, Moh. Agung Setiawan.